LAZ Al Hilal, Bandung – Apa yang paling penting dari sebuah perjalanan? Pengalaman mengunjungi tempat-tempat baru? Kesenangan karena bisa melakukan perjalanan dengan teman-teman yang menyenangkan? Atau barangkali kesempatan memiliki kenangan untuk diceritakan. Yah, semua itu bisa didapat dari sebuah perjalanan. Tapi ada yang lebih penting dari itu semua. Hal terpenting dari sebuah perjalanan ialah kamu bisa pulang dengan selamat.
Tak selamanya seseorang melakukan perjalanan bukan? Setiap perjalanan sejatinya adalah sebuah pengingat ketika kita lupa apa arti pulang. Hanya orang-orang yang punya tujuan pulang yang akan mengerti arti dari sebuah perjalanan.
Ialah kehidupan. Bak sebuah perjalanan panjang. Hanya orang yang sadar ketidakabadiannya yang akan menjadikan perjalanannya selama di dunia sebagai upaya untuk dapat pulang dengan selamat. Hanya bagi yang sadar.
Bayangkan begini, kamu sedang berada di suatu jalan. Kamu tahu itu bukan jalan ke rumahmu. Sementara yang kamu jadikan tujuan adalah pulang ke rumah. Apa yang akan kamu lakukan selanjutnya? Tetap melanjutkan perjalanan? Dan membiarkan diri tersesat tak tentu arah? Oke, kamu mungkin akan mendapatkan pengalaman mengunjungi tempat-tempat baru. Tapi, tujuanmu pulang semakin jauh di belakang. Tertinggal dan barangkali akan terlupa. Karena kamu sedang asik menikmati perjalanan. Apalagi kamu menjumpai teman perjalanan yang menyenangkan. Tujuan pulang? Ah, abaikan saja!
Begitulah yang dialami beberapa orang saat ini. Generasi muda terutamanya. Fase pencarian jati diri yang labil dan tak mendapatkan penanganan dan pemuasan atas keingintahuannya dengan benar membuat beberapa generasi muda lupa pada tujuan diciptakannya ke dunia. Massif tersebarnya ide-ide barat membuat kita akhirnya mengabaikan tujuan pulang kita.
“Maka Apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS. Al-Mu’minun: 115)
Tentang alam semesta, manusia dan hidup, bagaimanakah kita memandang ketiganya? Apakah kita terlupa jika ketiganya ialah ciptaan Allah Swt? Yang artinya tiap gerak geriknya bergantung kepadaNya? Lalu untuk apakah ia diciptakan? Adakah diciptakan alam semesta hanya untuk dijadikan tempat bersenang-senang semata? Atau adakah manusia diciptakan hanya untuk bersenang-senang belaka? Dan hidup, apakah ia hanya dijadikan masa untuk bersenang-senang saja? Adakah ketiga diciptakan begitu saja tanpa tujuan? Kemana semuanya akan berakhir? Abadikah? Atau semua adalah bagian dari sebuah perjalanan?
Pandangan manusia atas ketiga hal tersebut akan mempengaruhinya dalam menentukan arah tujuan pulangnya. Ke surga atau ke neraka. Jika ia memandang alam semesta, manusia dan hidup sebagai sesuatu yang tak abadi, maka ia akan menemukan apa arti pulang yang sesungguhnya. Alam semesta, manusia dan hidup dianggap sebuah entitas kecil yang senantiasa bergantung padaNya. Dengan demikian keselamatan “pulang” ke kampung akhirat menjadi aspek paling penting dalam perjalanannya.
Jadi, kemana tujuan perjalananmu sesungguhnya? Pulangkah? Atau sekedar mencari pengalaman berkunjung ke tempat baru dengan teman yang menyenangkan serta kenangan manis untuk diceritakan? Tentukan tujuanmu sekarang juga.
Jika saat ini, di perjalanan kamu tersadar, bahwa bukan jalan ini yang akan menghantarkanmu ke “rumah”, maka tak ada salahnya berhenti sejenak. Lalu berbeloklah ke arah jalan yang benar-benar akan membawamu pulang. Atau barangkali berputar baliklah! Tak apa jika sedikit melelahkan. Kamu tetap akan temukan teman yang menyenangkan untuk ke tujuanmu yang sesungguhnya. Namun jangan kaget jika tak seramai perjalananmu untuk sekedar bersenang-senang.
Arti sebuah perjalanan bukanlah hanya tentang hari ini, namun tentang masa depan yang hakiki. Tentang apa yang diperbuat akan dipertanggungjawabkan. Setiap pertanggungjawaban akan mendapat balasan yang setimpal. Allah akan menempatkan alamat “pulang” kita sesuai dengan tujuan kita selama hidup.
“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembahku”. (QS. Adz Dzariyat: 56).
Wallahu ‘alam bish-shawab