Laz Al Hilal, Bandung – Ingatlah, kita hanya punya tugas menghukumi seseorang sesuai lahiriyah yang kita lihat, karena kita tak bisa menerawang isi hatinya. Pelajaran ini bisa kita ambil dari kisah Usamah bin Zaid berikut ini:
Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu berkata:
“ Rasulullah mengutus kami ke daerah Huraqah dari suku Juhainah, kemudian kami serang mereka secara tiba-tiba pada pagi hari di tempat air mereka. Saya dan seseorang dari kaum Anshar bertemu dengan seorang lelaki dari golongan mereka. Setelah kami dekat dengannya, ia lalu mengucapkan Laa ilaha illallah. Orang dari sahabat Anshar menahan diri dari membunuhnya, sedangkan aku menusuknya dengan tombakku hingga membuatnya terbunuh. ”
Sesampainya di Madinah, peristiwa itu didengar oleh Nabi ﷺ. Kemudian beliau ﷺ bertanya padaku:
« يَا أُسَامَةُ أَقَتَلْتَهُ بَعْدَ مَا قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ » قُلْتُ كَانَ مُتَعَوِّذًا . فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا حَتَّى تَمَنَّيْتُ أَنِّى لَمْ أَكُنْ أَسْلَمْتُ قَبْلَ ذَلِكَ الْيَوْمِ
“Hai Usamah, apakah kamu membunuhnya setelah ia mengucapkan Laa ilaha illallah?”
Saya berkata:
“Wahai Rasulullah, sebenarnya orang itu hanya ingin mencari perlindungan diri saja, sedangkan hatinya tidak meyakini hal itu.”
Beliau ﷺ bersabda lagi:
“Apakah engkau membunuhnya setelah ia mengucapkan Laa ilaha illallah?” Ucapan itu terus menerus diulang oleh Nabi ﷺ, hingga saya mengharapkan bahwa saya belum masuk Islam sebelum hari itu.”
[HR. Bukhari no. 4269 dan Muslim no. 96]
Dalam Riwayat Muslim disebutkan, lalu Rasulullah ﷺ bersabda:
أَقَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَقَتَلْتَهُ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّمَا قَالَهَا خَوْفًا مِنَ السِّلاَحِ. قَالَ أَفَلاَ شَقَقْتَ عَنْ قَلْبِهِ حَتَّى تَعْلَمَ أَقَالَهَا أَمْ لاَ فَمَازَالَ يُكَرِّرُهَا عَلَىَّ حَتَّى تَمَنَّيْتُ أَنِّى أَسْلَمْتُ يَوْمَئِذٍ
“Bukankah ia telah mengucapkan Laa ilaha illallah, mengapa engkau membunuhnya?” Saya menjawab: “Wahai Rasulullah, ia mengucapkan itu semata-mata karena ia takut dari senjata.”
Beliau ﷺ bersabda:
“Mengapa engkau tidak belah saja hatinya hingga engkau dapat mengetahui, apakah ia mengucapkannya karena takut saja atau tidak?” Beliau ﷺ mengulang-ngulang ucapan tersebut hingga aku berharap, seandainya aku masuk Islam hari itu saja.
Ketika menyebutkan hadis di atas, Imam Nawawi menjelaskan, bahwa maksud dari kalimat “Mengapa engkau tidak belah saja hatinya hingga engkau dapat mengetahui, apakah ia mengucapkannya karena takut saja atau tidak?” adalah kita hanya dibebani dengan menyikapi seseorang dari lahiriyahnya dan sesuatu yang keluar dari lisannya.
Sedangkan hati, itu bukan urusan kita. Kita tidak punya kemampuan menilai isi hati. Cukup nilailah seseorang dari lisannya saja (lahiriyah saja). Jangan tuntut lainnya. [Lihat Syarh Shahih Muslim, 2: 90-91]
Setiap Orang Akan Diganjar Sesuai yang Ia Niatkan
Coba ambil pelajaran dari hadis berikut:
Dari Abu Yazid Ma’an bin Yazid bin Al-Akhnas radhiyallahu ‘anhum, -ia, ayah dan kakeknya termasuk sahabat Nabi ﷺ, di mana Ma’an berkata, bahwa ayahnya yaitu Yazid pernah mengeluarkan beberapa Dinar untuk niatan sedekah.
Ayahnya meletakkan uang tersebut di sisi seseorang yang ada di masjid (maksudnya: ayahnya mewakilkan sedekah tadi pada orang yang ada di masjid, -pen).
Lantas Ma’an pun mengambil uang tadi, lalu ia menemui ayahnya dengan membawa uang Dinar tersebut.
Kemudian ayah Ma’an (Yazid) berkata: “Sedekah itu sebenarnya bukan kutujukan padamu.” Ma’an pun mengadukan masalah tersebut kepada Rasulullah ﷺ. Lalu beliau ﷺ bersabda:
لَكَ مَا نَوَيْتَ يَا يَزِيدُ ، وَلَكَ مَا أَخَذْتَ يَا مَعْنُ
“Engkau dapati apa yang engkau niatkan wahai Yazid. Sedangkan wahai Ma’an, engkau boleh mengambil apa yang engkau dapati.”
[HR. Bukhari no. 1422]
Dari hadis ini, Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata,
“Orang yang bersedekah akan dicatat pahala sesuai yang ia niatkan, baik yang ia beri sedekah secara lahiriyah pantas menerimanya ataukah tidak.”
[Fath Al-Bari, 3: 292]
Hal di atas sesuai pula dengan hadis Umar, Rasululah ﷺ bersabda:
وَإِنَّمَا لاِمْرِئٍ مَا نَوَى
“Dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan.”
[HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907]
Misal, ada pengemis yang mengetok pintu rumah kita, apakah kita memberinya sedekah ataukah tidak? Padahal nampak secara lahiriyah, dia miskin.
Jawabannya, tetap diberi. Kalau pun kita keliru karena di balik itu bisa jadi ia adalah orang yang kaya raya, tetap Allah catat niat kita untuk bersedekah. Sedangkan ia mendapatkan dosa karena memanfaatkan harta yang sebenarnya tak pantas ia terima.
Begitu pula kalau ada yang menawarkan proposal pembangunan masjid. Secara lahiriyah atau zhahir yang nampak, kita tahu yang sodorkan proposal memang benar-benar butuh. Lalu kita berikan bantuan.
Bagaimana kalau dana yang diserahkan disalahgunakan? Apakah kita tetap dapat pahala?
Jawabannya, kita mendapatkan pahala sesuai niatan baik kita. Sedangkan yang menyalahgunakan, dialah yang mendapatkan dosa. Subhanallah. Mulia sekali syariat Islam ini.
Jangan Manjakan Pengemis dan Pengamen Jalanan
Sahabat Al Hilal ingat jangan manjakan pengemis, apalagi pengemis yang malas bekerja seperti yang berada di pinggiran jalan. Apalagi dengan mengamen, melantunkan nyanyian musik yang haram untuk didengar.
Kebanyakan mereka malah tidak jelas agamanya, salat juga tidak. Begitu pula sedikit yang mau perhatian pada puasa Ramadan yang wajib.
Carilah orang yang saleh yang lebih berhak untuk diberi, yaitu orang miskin yang sudah berusaha bekerja, namun tidak mendapatkan penghasilan yang mencukupi kebutuhan keluarganya.
Dari Abu Hurairah, ia berkata, Nabi ﷺ bersabda:
لَيْسَ الْمِسْكِينُ الَّذِى تَرُدُّهُ الأُكْلَةُ وَالأُكْلَتَانِ ، وَلَكِنِ الْمِسْكِينُ الَّذِى لَيْسَ لَهُ غِنًى وَيَسْتَحْيِى أَوْ لاَ يَسْأَلُ النَّاسَ إِلْحَافًا
“Namanya miskin bukanlah orang yang tidak menolak satu atau dua suap makanan. Akan tetapi miskin adalah orang yang tidak punya kecukupan, lantas ia pun malu, atau tidak meminta dengan cara mendesak.”
(HR. Bukhari no. 1476)
Wallahu waliyyut taufiq. Hanya Allah yang memberi taufik.