Fakir Miskin Menurut Empat Imam Madzhab. Dua terminologi ini, yakni fakir dan miskin, masing-masing memiliki definisi yang berbeda menurut para fuqaha, termasuk ke empat imam madzhab; Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad. Al Quran menyebutkan bahwa fakir dan miskin termasuk dalam delapan ashnaf (golongan) penerima zakat (Q.S.at-Taubah : 60).
Menurut Imam Malik, Fakir adalah seseorang yang memiliki harta namun tidak mencukupi untuk kebutuhan makan selama setahun, sementara miskin adalah seseorang yang tidak memiliki harta apapun.
Imam Abu Hanifah mengartikan fakir dengan seseorang yang memiliki harta dibawah nishab atau batas pemenuhan kebutuhan hidup dari harta yang berkembang, atau sebatas nishab dari harta yang tidak berkembang.
Sementara miskin, Abu Hanifah sependapat dengan Imam Malik, yaitu seseorang yang tidak memiliki harta apapun.
Fakir menurut Imam Syafi’i dan Imam Ahmad adalah seseorang yang sama sekali tidak memiliki harta, atau memiliki sedikit harta atau penghasilan dari suatu pekerjaan namun tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup.
Adapun miskin, menurut Imam Syafi’i adalah seseorang yang memiliki harta atau penghasilan dari suatu pekerjaan namun tidak mencukupinya.
Sementara menurut Imam Ahmad, miskin adalah seseorang yang memperoleh harta atau penghasilan dari suatu pekerjaan yang dapat memenuhi sebagian besar atau setengah kebutuhan hidupnya.
Mencermati pendapat keempat Imam di atas tentang pemaknaan dari fakir dan miskin dapat diketahui bahwa gambaran kehidupan miskin menurut Imam Malik dan Imam Abu Hanifah lebih memprihatinkan atau lebih melarat dari gambaran kehidupan fakir.
Sementara menurut Imam Syafi’i dan Imam Ahmad, gambaran kehidupan fakir lebih memprihatinkan atau lebih melarat dari gambaran kehidupan miskin. Pendapat Imam Syafi’i dan Imam Ahmad antara lain berlandaskan kepada redaksi al-Quran yang menyebutkan fakir dahulu kemudian miskin, yang mana mengisyaratkan bahwa fakir lebih diutamakan dari miskin dalam menerima zakat. Hal ini menunjukkan bahwa kehidupan fakir lebih memprihatinkan daripada kehidupan miskin.
Diantara ulama kontemporer yang turut andil dalam memperkaya pemaknaan term fakir dan miskin adalah Sayyed Sabiq dalam bukunya Fiqh as-Sunnah.
Menurut Sabiq, ukuran atau batasan seseorang dapat dikatakan ‘orang kaya’ atau ‘orang berada’, bahwa orang tersebut memiliki harta yang melebihi kebutuhan hidup primer untuk dirinya dan untuk mereka yang menjadi tanggungannya.
Sementara fakir adalah mereka yang tidak memiliki harta yang cukup untuk kebutuhan hidup primer, untuk dirinya dan untuk mereka yang menjadi tanggungannya. Seperti dalam hal makanan, apabila seseorang memiliki makanan yang melebihi dari kebutuhan hidup dirinya dan mereka yang menjadi tanggungannya maka orang tersebut masuk dalam kategori orang kaya atau orang berada.
Apabila tidak mencukupi kehidupan dirinya dan mereka yang menjadi tanggungannya maka orang tersebut masuk dalam kategori fakir yang berhak menerima zakat.
Bagi Sayyed Sabiq, tidak ada perbedaan antara fakir dan miskin dalam hal kebutuhan hidup dan hak mendapatkan zakat. Menurutnya, miskin masuk dalam kategori fakir, namun miskin memiliki ciri-ciri tertentu yaitu fakir yang tidak sampai melakukan perbuatan meminta-minta kepada orang lain, seperti meminta-minta di jalanan dengan menengadahkan tangan kepada orang lain.
Dengan demikian dapat difahami bahwa fakir adalah mereka yang melakukan perbuatan meminta-minta kepada orang lain untuk mencukupi kebutuhan hidup, sementara miskin tidak melakukan hal tersebut.
Mayoritas ulama mengatakan bahwa fakir dan miskin adalah dua term yang kalau disebutkan bersamaan maka keduanya memiliki makna yang berbeda, dan kalau disebutkan terpisah maka term yang disebutkan mencakup kedua makna fakir dan mis…